Tuhan Tidak Tidur
Bacaan Pertama: Ayb. 38:1.8-11
Ayub mengalami berbagai penderitaan dan ia mengungkapkan perasaannya agar
ia tidak dipersalahkan karena penderitaannya bukanlah sebab dari dosa. Allah
menjawab Ayub yang menyadarkan pikiran manusia terbatas untuk memahami Allah.
Allah jauh mengunguli manusia karena Allah mahakuasa. Manusia di hadapan Allah
hanya bisa tunduk dan menyembah.
Bacaan Kedua:2Kor. 5:14-17
Paulus menyadari panggilannya sebagai murid Kristus membuatnya menjadi
manusia baru. Paulus meninggalkan kehendaknya sendiri dan membiarkan dirinya
masuk dalam kehendak dan kekuasaan Kristus. Berpikir dan bertindak dalam
Kristus merupakan ciri manusia baru yang membentuk umat beriman.
Bacaan Injil: Mrk. 4: 35-40
Kutipan yang dibaca pada Minggu ini masih bagian awal karya Yesus. Yesus
dikisahkan dalam Markus, sesudah memanggil dua belas rasul-Nya di tepi danau
(daerah Galilea) Yesus melanjutkan berkarya dengan menyembuhkan orang yang
kerasukan setan dan mengajar (Mrk 3:13 – 4:34). Semakin banyak orang yang
mengerumuni Yesus untuk sekedar melihat Yesus atau hendak mendengarkan ajaran
yang disampaikan Yesus. Situasi ini tentu secara manusiawi telah menguras
tenaga Yesus dan Ia ingin menyingkir ke seberang danau untuk beristirahat.
Selain itu, Yesus sebelumnya mengajar hanya dengan perumpamaan karena
orang-orang Farisi telah mengkritik Yesus yang menyembuhkan orang sakit pada
hari Sabat. Yesus “menyingkir” agar tidak terjadi pertentangan lebih besar lagi
karena waktunya belum tiba.
Di kisahkan dalam perjalanan ke seberang danau itu, terjadi taufan yang
dasyat sehingga ombak yang tinggi menyembur ke dalam perahu. Para murid yang
sebagian besar adalah nelayan di danau itu tahu betul resiko ombak yang dasyat
itu akan menengelamkan perahu mereka. Tak ada usaha berarti yang dapat mereka
lakukan. Mereka hanya mengusahakan keseimbangan diri dan perahu agar tidak
miring dan terpelanting. Mungkin juga sebagian berusaha mengeluarkan air yang
masuk ke dalam perahu.
Kecemasan para murid berbanding terbalik dengan Yesus yang tertidur di
buritan perahu. Yesus tidur di sebuah tilam dan tidak terganggu dengan angin
besar serta ombak yang tinggi. Kecemasan para murid berasal dari pengaloaman
manusiawi mereka sebagai nelayan. Kecemasan ini pastilah bercampur dengan emosi
yang tinggi saat melihat Yesus sedang tertidur. Kata-kata yang keluar dari para
murid adalah: “Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?”. Ungkapan ini
mengandung kecemasan dan kegeraman, cemas terhadap situasi danau yang tak
terkendali dan geram karena Yesus dengan nyenyak tertidur.
Begitu bangun, Yesus langsung saat itu juga menghardik angin taufan itu dan
berkata kepada danau itu “Diam! Tenanglah!” Seketika itu danau menjadi tenang
dan teduh sehinga meredakan pula kecemasan dalam diri para murid Yesus. Yesus
pasti berkata sambil melihat danau. Namun apa perasaan murid yang membangunkan
Yesus? Ketika Yesus menghardik angin ribut itu, pertama-tama para muridlah yang
harus diam dan tenang. Alam ada dalam kekuasaan Yesus karena Ia adalah Putera
Allah. Angin taufan dengan gampang akan diredakan oleh Yesus.
Setelah danau teduh kembali, Yesus menegur para murid tentang ketakutan
dan ketidakpercayaan mereka. Takut dan tidak percaya berasal dari pikiran
manusia menghadapi situasi di luar batas kesangupan. Ketika Yesus ada bersama
mereka, seharusnya mereka mengandalkan Yesus dan bukan dipermaikan oleh pikiran
mereka. Ketakutan mereka tidak akan ada artinya di hadapan Yesus yang sangat
tenang bahkan tidak bangun dari tidur-Nya. Alam tidak menguasai Yesus sehingga
meskipun Yesus tertidur ke-Allah-an-Nya tidaklah tinggal diam.
Kita seringkali ada dalam situasi di luar batas kendali kita. Situasi itu
ada yang natural karena berasal dari alam atau dari luar diri kita. Namun
demikian, seringkali situasi kacau justru kita ciptakan dari kekeliruan kita
sendiri. Atas situasi demikian ini, kita seringkali menuduh Yesus tidak peduli
pada diri kita. Padahal kita percaya bahwa Yesus tinggal dalam diri kita dan
ikut serta dalam situasi rumit yang kita hadapi. Kitalah yang harus “diam dan
tenang”, berpikir dengan jernih sehingga mampu mengembalikan kepercayaan yang
teguh pada Yesus bahwa Allah tidak “tidur”, tidak membiarkan kita celaka ketika
kita mampu bersandar pada kekuasaan Allah. (R.YKJ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar