Maria Ratu Damai

Maria Ratu Damai

Sabtu, 20 Juni 2015

Minggu biasa XII, Tahun B



Tuhan Tidak Tidur

Bacaan Pertama: Ayb. 38:1.8-11
Ayub mengalami berbagai penderitaan dan ia mengungkapkan perasaannya agar ia tidak dipersalahkan karena penderitaannya bukanlah sebab dari dosa. Allah menjawab Ayub yang menyadarkan pikiran manusia terbatas untuk memahami Allah. Allah jauh mengunguli manusia karena Allah mahakuasa. Manusia di hadapan Allah hanya bisa tunduk dan menyembah.

Bacaan Kedua:2Kor. 5:14-17
Paulus menyadari panggilannya sebagai murid Kristus membuatnya menjadi manusia baru. Paulus meninggalkan kehendaknya sendiri dan membiarkan dirinya masuk dalam kehendak dan kekuasaan Kristus. Berpikir dan bertindak dalam Kristus merupakan ciri manusia baru yang membentuk umat beriman.

Bacaan Injil: Mrk. 4: 35-40

Kutipan yang dibaca pada Minggu ini masih bagian awal karya Yesus. Yesus dikisahkan dalam Markus, sesudah memanggil dua belas rasul-Nya di tepi danau (daerah Galilea) Yesus melanjutkan berkarya dengan menyembuhkan orang yang kerasukan setan dan mengajar (Mrk 3:13 – 4:34). Semakin banyak orang yang mengerumuni Yesus untuk sekedar melihat Yesus atau hendak mendengarkan ajaran yang disampaikan Yesus. Situasi ini tentu secara manusiawi telah menguras tenaga Yesus dan Ia ingin menyingkir ke seberang danau untuk beristirahat. Selain itu, Yesus sebelumnya mengajar hanya dengan perumpamaan karena orang-orang Farisi telah mengkritik Yesus yang menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat. Yesus “menyingkir” agar tidak terjadi pertentangan lebih besar lagi karena waktunya belum tiba.
Di kisahkan dalam perjalanan ke seberang danau itu, terjadi taufan yang dasyat sehingga ombak yang tinggi menyembur ke dalam perahu. Para murid yang sebagian besar adalah nelayan di danau itu tahu betul resiko ombak yang dasyat itu akan menengelamkan perahu mereka. Tak ada usaha berarti yang dapat mereka lakukan. Mereka hanya mengusahakan keseimbangan diri dan perahu agar tidak miring dan terpelanting. Mungkin juga sebagian berusaha mengeluarkan air yang masuk ke dalam perahu.
Kecemasan para murid berbanding terbalik dengan Yesus yang tertidur di buritan perahu. Yesus tidur di sebuah tilam dan tidak terganggu dengan angin besar serta ombak yang tinggi. Kecemasan para murid berasal dari pengaloaman manusiawi mereka sebagai nelayan. Kecemasan ini pastilah bercampur dengan emosi yang tinggi saat melihat Yesus sedang tertidur. Kata-kata yang keluar dari para murid adalah: “Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?”. Ungkapan ini mengandung kecemasan dan kegeraman, cemas terhadap situasi danau yang tak terkendali dan geram karena Yesus dengan nyenyak tertidur.
Begitu bangun, Yesus langsung saat itu juga menghardik angin taufan itu dan berkata kepada danau itu “Diam! Tenanglah!” Seketika itu danau menjadi tenang dan teduh sehinga meredakan pula kecemasan dalam diri para murid Yesus. Yesus pasti berkata sambil melihat danau. Namun apa perasaan murid yang membangunkan Yesus? Ketika Yesus menghardik angin ribut itu, pertama-tama para muridlah yang harus diam dan tenang. Alam ada dalam kekuasaan Yesus karena Ia adalah Putera Allah. Angin taufan dengan gampang akan diredakan oleh Yesus.
Setelah danau teduh kembali, Yesus menegur para murid tentang ketakutan dan ketidakpercayaan mereka. Takut dan tidak percaya berasal dari pikiran manusia menghadapi situasi di luar batas kesangupan. Ketika Yesus ada bersama mereka, seharusnya mereka mengandalkan Yesus dan bukan dipermaikan oleh pikiran mereka. Ketakutan mereka tidak akan ada artinya di hadapan Yesus yang sangat tenang bahkan tidak bangun dari tidur-Nya. Alam tidak menguasai Yesus sehingga meskipun Yesus tertidur ke-Allah-an-Nya tidaklah tinggal diam.
Kita seringkali ada dalam situasi di luar batas kendali kita. Situasi itu ada yang natural karena berasal dari alam atau dari luar diri kita. Namun demikian, seringkali situasi kacau justru kita ciptakan dari kekeliruan kita sendiri. Atas situasi demikian ini, kita seringkali menuduh Yesus tidak peduli pada diri kita. Padahal kita percaya bahwa Yesus tinggal dalam diri kita dan ikut serta dalam situasi rumit yang kita hadapi. Kitalah yang harus “diam dan tenang”, berpikir dengan jernih sehingga mampu mengembalikan kepercayaan yang teguh pada Yesus bahwa Allah tidak “tidur”, tidak membiarkan kita celaka ketika kita mampu bersandar pada kekuasaan Allah. (R.YKJ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar