Maria Ratu Damai

Maria Ratu Damai

Sabtu, 26 September 2015

Minggu Biasa XXVI, Tahun B



Jangan Cegah Kebaikan

Bacaan Pertama: Bilangan 11:25-29
Kitab Bilangan mencatat kisah Roh kenabian yang diberikan kepada orang-orang yang tidak memiliki status nabi. Roh kenabian itu hanya tinggal sebentar sehingga orang-orang yang dihinggapi itu pun hanya sebentar saja berprilaku seperti nabi. Yosua meminta Musa melarang Eldad dan Hadad untuk tidak berprilaku seperti nabi. Musa justru menginginkan agar seluruh umat dikaruniai Roh kenabian. Musa mengajak umat untuk terbuka pada karya Allah yang bebas memberikan Roh-Nya kepada siapapun untuk karya keselamatan.

Bacaan Kedua: Yakobus 5:1-6
Harta benda diusahakan secara pribadi bahkan dengan kerja keras untuk mengumpulkannya. Namun demikian, harta yang didapatkan harus bernilai sosial sehingga harus bertindak adil terhadap para buruh upahan yang dipekerjakan. Kejujuran dan keadilan dalam mencari harta dunia justru akan sampai pada pemahaman bahwa rejeki berasal dari Tuhan sehingga harus dimanfaatkan demi keselamatan dan cinta kasih.

Bacaan Injil: Markus 9:38-43.45.47-48

Injil ini mengisahkan Yohanes memberi laporan bahwa para murid mencegah seseorang yang mengusir setan dalam nama Yesus. Para murid melarang tindakan itu karena orang tersebut bukan termasuk pengikut Yesus. Nada kalimat dalam laporan Yohanes itu bukan berkeluh kesah atas tindakan para murid, namun justru memuat rasa bangga telah menjaga kelompok pengikut Yesus. Pemikiran Yohanes sama dengan para murid yang lain bahwa untuk memakai nama Yesus haruslah menjadi pengikut-Nya. Yohanes berbicara tentang hal ini dengan tujuan mengubah tema pembicaraan Yesus karena sebelumnya Yesus menasihati mereka karena bertengkar tentang yang terbesar di antara para murid (Mrk 9:33-37).
Para murid menginginkan para pengikut Kristus menjadi kelompok khusus dan memiliki hak khusus  pula bagi anggotanya. Yesus sendiri pada perikop sebelumnya menyebutkan bahwa orang yang mau mengikuti Yesus harus memikul salibnya dan mengikuti Yesus. Yesus sendiri telah menjelaskan syarat-syarat mengikuti-Nya. Para murid pun kemudian merasa berhak untuk memiliki kekhususan sebagai murid Kristus yang tidak dimiliki oleh orang lain. Pemikiran para murid ini karena mereka tidak mau terbuka menerima orang lain yang bukan kelompok pengikut Yesus.
Yesus justru mengatakan “jangan kamu cegah dia”. Yesus mengijinkan nama-Nya dipakai untuk berbuat kebaikan. Ketika seseorang dalam nama Yesus menolong orang lain, maka pada waktu itu tidak mungkin orang tersebut mengupat Yesus. Orang yang memakai nama Yesus untuk menolong orang berarti percaya bahwa nama Yesus memiliki kuasa ilahi dan kekaguman ini tidak akan berganti dengan tindakan melawan Yesus. Dalam kadar tertentu seseorang yang tidak menentang para pengikut Yesus berarti ada di pihak mereka.
Yesus kemudian menjelaskan lebih lanjut tentang sikap keterbukaan pada orang lain, meskipun hal yang dibuat tampaknya kecil dan sederhana. Cinta kasih dan pelayanan kepada Kristus bisa saja diberikan oleh orang yang bukan pengikut Kristus, namun berbaik hati untuk sekedar memberi air minum kepada para murid Kristus. Orang tersebut tetap akan mendapat berkat meskipun bukan bagian dari kelompok pengikut Kristus.
Yesus kemudian berbicara tentang penyesatan terhadap seorang anak kecil. Yesus mengulangi tema anak kecil ini yang sebelumnya mengambil seorang anak kecil sambil mengajar para murid untuk menerima anak kecil seperti yang Ia lakukan. Penyesatan terhadap anak kecil dimaksudkan terkait dengan sikap para murid yang melarang orang lain memakai nama Yesus untuk berbuat baik. Orang yang bukan pengikut Kristus belum memiliki pemahaman yang luas tentang segala sesuatu yang diajarkan Yesus. Mereka harusnya dibimbing untuk memahami dan bukan justru dihalangi untuk mengenak Yesus. Iman si pengusir setan yang memakai nama Yesus belum berkembang dan harus dikembangkan lebih jauh. Kritikan yang tanjam seringkali membuat seseorang putus asa dan menjauh dari usaha menuju kebenaran.
Kata “menyesatkan” berasal dari kata Skandalizo (Yunani) yang berarti menaruh perangkap di jalan sehingga membuat orang tersandung. Anak kecil akan mudah tersandung ketika berjalan karena kurang waspada. Mereka gampang disesatkan dengan banyak hal yang mereka peroleh dari perjumpaan dengan orang lain. Anak kecil juga bisa diartikan orang yang masih kecil iman atau kerohaniannya belum berkembang. Iman dan kerohanian yang kecil ini perlu dikembangkan, bukan justru disesatkan dengan dipersalahkan atau ditakut-takuti.
Yesus kemudian beralih pada pembicaraan tentang penyesatan diri sendiri. Dalam kiasan Yesus berbicara tentang tangan dan mata yang menyesatkan dan harus dipotong dan dicungkil agar masuk surga. Bukan organ tubuh yang dimaksudkan tentu saja dalam kiasan ini, karena pikiran dan kehendak manusialah yang mengakibatkannya berdosa. Hal-hal yang membuat seseorang berdosa haruslah segera disingkirkan, yakni pikiran dan kehendak yang gampang terlena dengan godaan dosa.
Kita, sebagai murid Kristus, harus harus terbuka pada rahmat Allah yang bekerja tanpa batas atau sekat kelompok. Allah dapat memakai siapapun demi kebaikan manusia, maka orang yang telah mengenal cinta kasih Allah dalam diri Kristus haruslah terbuka pada semua orang. Selain itu, agar kita diikut-sertakan dalam dalam karya keselamatan Allah, maka kita harus menjadikan diri kita tidak gampang jatuh dalam godaan dosa. (R.YKJ)

Sabtu, 19 September 2015

Minggu Biasa XXV, Tahun B



Yang Besar harus Melayani yang Kecil

Bacaan Pertama: Kitab Kebijaksanaan 2:12.17-20
Kitab Kebijaksanaan ini mengingatkan bahwa orang fasik berusaha mengalahkan kebenaran. Orang fasik adalah orang-orang yang hidupnya dikendalikan hawa nafsunya. Mereka selalu menentang kebenaran dalam diri orang-orang yang baik hidupnya. Namun Allah akan menyelamatkan orang-orang yang berada dalam jalan kebenaran.

Bacaan Kedua: Yakobus 3:16 – 4:3
Egoisme menimbulkan sikap iri hati dan mementingkan diri sendiri yang akan menimbulkan kekacauan dan kejahatan. Allah memberikan jalan kebijaksanaan (hikmat) agar dunia rukun dan damai. Hikmat Allah itulah yang akan mendatangkan sikap pendamai, peramah, penurut, berbelas kasih, tidak pilih kasih dan tidak munafik.

Bacaan Injil: Markus 9:30-37

Konteks bacaan Injil ini sedikit melompat dari Minggu lalu karena bagian kisah Yesus dimuliakan di atas gunung “disimpan” untuk bacaan perayaan khusus. Yesus yang menyingkir sampai ke daerah Kaisarea Filipi akhirnya kembali lagi ke Kapernaum dengan melintasi daerah Galilea secara diam-diam agar tidak diketahui banyak orang. Yesus hendak memberikan pengajaran secara khusus kepada dua belas murid-Nya.
Setelah Yesus dimuliakan di atas gunung, Yesus mengajak para murid untuk turun kembali ke Kapernaum. Yesus mengatakan bahwa Anak Manusia akan mengalami penderitaan, wafat dan bangkit. Perkataan Yesus ini tidak dimengerti dengan baik oleh para murid-Nya. Mereka segan dan barangkali enggan untuk bertanya, karena sebelumnya Yesus menghardik Petrus yang menegur-Nya ketika Yesus mengatakan hal yang sama (Mrk 8:27-35). Para murid justru lebih suka membicarakan tentang kemuliaan Yesus yang baru saja mereka lihat di atas gunung. Mereka justru bertengkar tentang siapa yang terbesar di antara para murid.
Pertengkaran murid-murid Yesus di tengah jalan pastilah ingin memperebutkan posisi yang terbaik agar mendampingi Yesus dalam kemuliaan yang telah mereka saksikan. Sesampainya di Kapernaum barulah Yesus meluruskan paham yang salah dalam diri para murid-Nya itu. Yesus menegaskan bahwa seseorang yang ingin menjadi yang terdahulu haruslah menjadi yang terakhir dan menjadi pelayan bagi semua orang. Para murid baru saja bertengkar tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Ungkapan terbesar kemudian diubah oleh Yesus dengan ungkapan terdahulu yang memuat arti pemimpin yang dihormati.
Yesus menjelaskan tugas Mesias yang ada dalam diri-Nya. Yesus memakai istilah Anak Manusia untuk menekankan makna bahwa Ia menjadi Manusia yang merasakan penderitaan dan kematian manusia agar dapat menebus dosa manusia dengan kebangkitan-Nya. Jalan penebusan ini dilaksanakan oleh Yesus dengan mengosongkan diri-Nya dan menjadi pelayan bagi manusia.
Yesus kemudian mengambil seorang anak kecil sambil memeluk anak itu. Tindakan Yesus ini untuk memperjelas pengajaran-Nya tentang pelayanan. Yesus mengatakan siapa yang menerima anak kecil seperti yang dilakukan Yesus itu berarti menerima Yesus, dan siapa yang menerima Yesus berarti menerima Bapa yang mengustus-Nya. Menerima seorang anak kecil dimaksudkan sebagai sikap kerendahan hati untuk menjadi pelayan. Anak kecil pastilah penuh dengan kepolosan dan ketulusan. Mereka juga tidak memiliki tujuan tersembunyi di balik sikap mereka dan sepenuhnya mereka bergantung dari orang yang dewasa. Menerima mereka berarti siap untuk melayani segala yang diperlukan oleh mereka. Anak kecil ini menjadi simbol orang kecil yang membutuhkan perhatian dan pertolongan.
Demikianlah Yesus menginginkan agar para murid rela untuk melayani dengan kerendahan hati. Sikap sombong dan ingin menjadi yang terbesar justru akan menyesatkan mereka karena akan memunculkan sikap egois yang tidak peduli kepada sesama. Sebagai murid-murid Yesus, kita pun diminta untuk menjadi pelayan bagi semua orang. Menjadi pelayan berarti siap untuk direndahkan dan tidak dihargai oleh sebagian orang. Namun sikap pelayanan kepada sesama yang tulus justru akan mewujudkan kerajaan Allah di dunia karena akan semakin tercipta situasi yang damai dan saling mengasihi. (R.YKJ)

Sabtu, 12 September 2015

Minggu Biasa XXIV, Tahun B



Mesias bagi Kita

Bacaan Pertama: Yesaya 50:5-9a
Yesaya bernubuat tentang hamba Allah yang setia meskipun harus menanggung penderitaan. Ketaatan dan kerelaan menderita ini karena Allah sebagai penolong dan dilakukan demi keselamatan umat pilihan Allah.

Bacaan Kedua: Yakobus 2:14-18
Yakobus dengan tegas mengatakan bahwa iman tanpa perbuatan pada hakikatnya mati. Iman kepada Allah harus diwujudkan dalam perbuatan nyata untuk memperhatikan dan mencintai sesama. Iman tidak cukup hanya terucap di mulut, namun harus dilaksanakan dalam hidup sehari-hari.

Bacaan Injil: Markus 8:27-35

Bacaan ini menjadi kelanjutan bacaan Minggu lalu. Konteks besarnya adalah Yesus mengadakan perjalanan bersama para murid untuk menjauhi daerah Yerusalem karena orang banyak memaksa-Nya menjadi raja, sementara itu muncul kebencian dalam diri pemuka agama Yahudi dan juga Herodes sebagai raja wilayah kekaisaran Romawi. Dalam Injil Markus ini, dikisahkan Yesus yang bertanya pada para murid siapa Yesus menurut orang banyak dan siapa Yesus menurut para murid. Pertanyaan Yesus ini berkaitan dengan desakan banyak orang yang menghendaki diri-Nya sebagai raja karena telah banyak melakukan mukjizat.
Kehendak banyak orang yang menginginkan Yesus menjadi raja berlatar belakang pemahaman tentang mesianis. Mesias adalah yang terurapi dan membawa pembebasan bagi umat pilihan Allah.  Situasi pada masa itu, bangsa Yahudi ada dalam penjajahan kekaisaran Romawi. Sebagai bangsa jajahan, mereka harus membayar pajak kepada kaisar dan kehidupan sosial-keagamaan diawasi oleh kaum penjajah. Mereka menyangka bahwa Mesias hadir untuk membebaskan bangsa itu dari penjajahan kekaisaran Romawi.
Pendapat orang tentang Yesus menganggap Ia sebagai Yohanes Pembaptis, Elia atau seorang dari antara para nabi. Sebutan-sebutan ini menggambarkan bahwa Yesus sebagai sosok terpilih dan terurapi. Yesus telah banyak mengadakan mukjizat, termasuk menggandakan roti dan ikan untuk banyak orang. Orang banyak menaruh harapan bahwa Yesus layak untuk memimpin mereka menuju pembebasan. Namun demikian, dalam pandangan ini Yesus tetap dianggap sebagai manusia biasa.
Jawaban Petrus tentang diri Yesus menjadi jawaban yang tepat karena Yesus adalah Mesias. Mesias memang hendak membawa penyelamatan dan pembebasan, namun berbeda dengan pemahaman banyak orang dan juga belum sepenuhnya dimengerti oleh para murid Yesus. Seperti gambaran banyak orang, para murid pun masih memahami mesias secara duniawi. Yesus melarang para murid untuk memberitahukan bahwa diri-Nya adalah Mesias karena perbedaan paham ini.
Yesus kemudian mengajarkan kepada para murid bahwa Anak Manusia harus menanggung penderitaan, ditolak, dibunuh dan bangkit pada hari ketiga. Sebutan Anak Manusia ditempatkan Yesus untuk menggambarkan bahwa Ia adalah Anak Allah, Mesias yang menjadi manusia dan harus menanggung penderitaan hingga kematian-Nya. Lewat penderitaan dan kematian Anak Manusia inilah, Allah hendak menebus dosa menusia dan memberikan keselamatan-Nya.
Penjelasan Yesus ini ternyata tidak bisa diterima oleh Petrus. Petrus menegur nemarik Yesus dan menegur Yesus. Hal ini menggambarkan pandangan Petrus bahwa Mesias tidak semestinya menderita dan mengalami kematian dalam kesengsaraan. Bagi Petrus, Mesias sosok pembebas yang tak tertandingi, harus menjadi super hero. Atas pandangan yang salah inilah, Yesus memarahi Petrus, bahkan mengatakan “enyahlah Iblis” pada Petrus.
Yesus sebagai Mesias memang harus memikul salib demi keselamatan manusia. Para murid Yesus juga dituntut memilik salib masing-masing sambil mengikuti Yesus. Salib adalah tanggung jawab iman, bahkan siap menanggung konsekuensi iman. Bahkan Yesus menegaskan bahwa orang yang mau menyelamatkan nyawanya akan kehilangan tetapi orang yang kehilangan nyawanya karena Yesus dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.
Bagi kita, beriman dan menjadi murid Yesus haruslah memahami dengan benar bahwa Yesus adalah Mesias. Pemahaman yang benar ini akan meneguhkan kayakinan dan iman kita terhadap Yesus. Keteguhan dalam beriman pada gilirannya membuat kita berani menampilkan iman kita lewat kesaksian hidup, bahkan berani menanggung konsekuensi atas iman kita. (R.YKJ)

Sabtu, 05 September 2015

Minggu Biasa XXIII B, Minggu Kitab Suci Nasional



Orang Tuli dan Bisu Disembuhkan-Nya

Bacaan Pertama: Yes. 35:4-7a
            Yesaya menubuatkan tentang Mesias yang akan datang. Pada masa Mesias itu, akan ada harapan baru yang mengubah dari penderitaan yang membuat tawar hati menjadi kegembiraan karena keselamatan Tuhan.  Kelemahan dan penderitaan akan berubah menjadi sorak-sorai kegembiraan.

Bacaan Kedua: Yak. 2:1-5
Yakobus menasihati para murid Kristus agar mengasihi orang lain tanpa membedakan latar belakang dan kedudukan seseorang. Sebagaimana Yesus dahulu yang mengasihi semua orang, demikianlah orang-orang yang percaya kepada-Nya melakukan kebaikan bukan karena memandang kekayaan, atau perhiasan dan pakain yang dimiliki.

Bacaan Injil: Mrk. 7:31-37

Dalam Injil Markus ini, pada awal ditulis, “Sekali peristiwa, Yesus meninggalkan daerah Tirus, dan lewat Sidon pergi ke Danau Galilea, di tengah-tengah daerah Dekopolis”. Markus hendak menyambung konteks perikop ini bahwa Yesus semakin jauh menyingkir dari Yerusalem sebagai pusat keagamaan Yahudi. Yesus telah mengajar banyak orang di daerah Galilea. Orang banyak memaksa Yesus untuk menjadi raja bagi mereka sesudah Ia menggandakan roti dan ikan, sementara itu orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat mulai memuncak kejengkelannya terhadap Yesus, dan kabar tentang Yesus sudah didengar oleh Herodes yang mulai gusar terhadap-Nya.
Daerah Tirus, Sidon dan Dekapolis bukan sebagai daerah orang-orang Yahudi. Namun di daerah ini Yesus ingin memperluas warta tentang keselamatan Allah, sembari memberikan pengajaran khusus kepada para murid-Nya. Yesus menghendaki agar warta keselamatan Allah diterima banyak orang dan para murid-Nya siap untuk melanjutkan pewartaan-Nya. Nantinya, perjalanan menyusuri Danau Galilea akan berlanjut hingga memasuki Yerusalem tempat dimulainya kesengsaraan, wafat hingga kebangkitan-Nya.
Di daerah Dekapolis, orang telah mendengar kabar tentang Yesus terutama mukjizat penyembuhan yang dilakukan-Nya. Karena itulah, diantarkan kepada Yesus seorang yang tuli dan gagap agar disembuhkan oleh Yesus. Orang yang tuli sejak lahir hampir dipastikan juga bisu, bukan sekedar gagap atau susah berbicara. Pada ayat 37 disebut “orang bisu dijadikan-Nya berkata-kata”, hal ini menggambarkan bahwa orang yang dibawa kepada Yesus itu tuli dan bisu sejak lahir.
Yesus memisahkan orang yang bisu tuli tersebut dari kerumunan banyak orang. Dalam banyak peristiwa penyembuhan, Yesus cukup bersabda untuk menyembuhkan ornag-orang yang sakit. Namun pada peristiwa ini, Yesus membutuhkan komunikasi dan kontak langsung yang bisa ditangkap dan dimengerti oleh orang yang tuli dan bisu tersebut. Yesus memasukkan jari ke dalam telunga orang tersebut. Tindakan ini jelas dapat dimengerti bahwa Yesus hendak menyembuhkan telinga orang yang tuli itu. Demikian juga Yesus melakukan tindakan lain yang mudah ditangkap oleh orang yang bisu tuli itu dengan meludah dan meraba lidah orang tersebut. Di sini tidak bisa diartikan bahwa Yesus membasahi lidah orang itu dengan ludah-Nya sendiri. Meludah dan meraba lidah sebagai dua tindakan yang dipisah dan tidak dijelaskan hubungan secara langsung.
Tindakan berikutnya ialah Yesus menengadah ke langit, menarik nafas dan berkata efata. Tindakan ini pun pasti mudah ditangkap orang yang bisu tuli tadi karena sembari menengadah ke langit, Yesus menarik nafas terlebih dahulu baru berkata efata. Mengagumkan bahwa orang tersebut bisa mendengar dan bisa berkata-kata dengan baik. Mungkinkah orang yang tuli dan bisu sejak lahir seketika bisa mendengar dan lancar berbicara? Justru di sinilah letak kuasa Yesus sebagai Putera Allah.
Kesembuhan orang itu tentu membuat kagum orang-orang yang membawanya kepada Yesus. Yesus melarang mereka agar tidak menceritakan hal tersebut. Hal ini dimaksudkan agar daerah Dekapolis menerima dahulu pengajaran Yesus tentang kabar keselamatan Allah dan bukan berita kesembuhan lebih dulu yang mereka terima. Ketika orang banyak lebih dahulu mendengar mukjizat kesembuhan pastilah orang banyak mengharap mukjizat itu dan tidak menangkap dengan baik warta yang disampaikan Yesus.
Yesus sebagai kegenapan nubuat para nabi membuka telinga dan lidah orang agar mampu mendengar dan berkata-kata dengan baik. Hal ini juga menjadi lambang agar kita mampu mendengarkan Sabda Allah dengan baik dan berkata-kata pula dengan baik tentang Sabda Allah itu. Pada Bulan Kitab Suci ini kita giatkan kembali untuk lebih akrab dengan Sabda Allah dan mewartakannya bersama keluarga kita masing-masing dalam tindakan saling melayani. Kita seringkali menolak kritikan kelompok lain yang mengatakan bahwa kita tidak mengerti Kitab Suci dan malas membaca Kitab Suci. Inilah saatnya bagi kita untuk membuktikan bahwa kita akrab dengan Kitab Suci, membaca dan memahaminya, serta mewartakan dalam hidup keluarga kita. (R.YKJ)