Maria Ratu Damai

Maria Ratu Damai

Sabtu, 25 Juni 2016

Minggu Biasa XIII, Tahun C



Siap Mengikuti Yesus dan Siap Diutus

Bacaan Pertama: 1 Raja-raja 19:16b.19-21
Lewat Elia, Allah mengurapi Elisa menjadi nabi. Panggilan Elisa terjadi ketika ia sedang membajak dengan dua belas pasang lembu. Meskipun Elisa berpamitan dahulu dengan orangtuanya, ia justru menyembelih sepasang lembu yang dikendalikannya dan memasaknya dengan kayu bajaknya. Hal ini menunjukkan kesiapan Elisa menjadi nabi dengan meninggalkan orangtua dan pekerjaannya.

Bacaan Kedua: Galatia 5:1.13-18
Paulus menegaskan bahwa Kristus memanggil semua orang pada kemerdekaan sebagai anak-anak Allah. Kemerdekaan itu harus dijalankan untuk keselamatan dengan cara melayani dan mengasihi semua orang. Kemerdekaan dalam Kristus berarti merdeka dari perbudakan dosa dan merdeka dari sikap penindasan terhadap sesama.

Bacaan Injil: Lukas 9:51-62

Bacaan Lukas ini menjadi awal kegenapan waktu untuk kemuliaan Yesus yang diawali dengan memasuki kota Yerusalem. Lukas mengawali bagian ini dengan menuliskan, “ketika hampir genap waktunya diangkat ke surga, Yesus mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem”. Kalimat ini menunjukkan bahwa Yesus hendak dimuliakan dengan cara kesengsaraan dan kematian di kayu salib yang dimulai dengan memasuki Yerusalem. Semakin mendekatnya kegenapan keselamatan Allah dalam diri Yesus, maka Yesus perlu menegaskan sikap para murid sebagai pengikut-Nya.
Yesus menyuruh beberapa utusan untuk mendahului ke sebuah desa orang-orang Samaria dengan maksud hendak mempersiapkan segala hal berkaitan dengan rencana perjalanan ke Yerusalem. Orang Samaria bertentangan dengan orang Yahudi karena orang Samaria dinilai bukan Israel sejati sebab leluhur mereka melakukan kawin campur dengan orang asing yang dimasukkan ke Tanah Terjanji ketika masa pembuangan. Mengetahui rencana perjalanan rombongan Yesus ke Yerusalem membuat orang Samaria menolak mereka.
Penolakan di desa orang Samaria ini membuat jengkel para murid sehingga meminta agar Yesus mengizinkan mereka memohon api turun dari langit menghanguskan desa itu. Yesus justru menasehati para murid. Kedatangan Yesus ke dunia bukan untuk menghancurkan, namun untuk menyelamatkan. Penolakan orang Samaria karena tradisi yang mengikat mereka, sedangkan Yesus jauh melampaui tradisi. Bahkan ketika memasuki Yerusalem, Yesus juga akan ditolak dan dijatuhi hukuman mati. Namun demikian, Yesus tetap mengupayakan keselamatan bagi semua orang.
Bagian berikutnya memuat tentang hal mengikuti Yesus. Ada seorang pemuda yang mendekati Yesus dan menyatakan niatnya untuk mengikuti Yesus kemanapun Yesus pergi. Kepada pemuda ini, Yesus mengatakan bahwa serigala mempunyai liang, burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Ungkapan ini menunjukkan bahwa motivasi pemuda tadi mengikuti Yesus karena mukjizat-mukjizat yang telah dibuat oleh Yesus. Ia membayangkan Yesus sebagai seorang guru pada umumnya yang memiliki rumah sebagai tempat untuk mengajar para murid. Tidak disebutkan kemudian apakah pemuda itu tetap mengikuti Yesus atau kemudian mundur.
Kepada seorang pemuda yang lain, Yesus berkata “Ikutlah Aku!” Panggilan Yesus ini dijawab dengan persyaratan diizinkan menguburkan dahulu ayahnya. Bagi pemuda itu, menguburkan ayahnya berarti hendak mengurusi ayahnya hingga nantinya ia dapat menyaksikan upacara penguburan ayahnya. Penundaan waktu untuk mengikuti Yesus tidak dikehendaki oleh-Nya. Yesus kemudian menjawab pemuda tadi dengan kiasan “biarlah orang mati menguburkan orang mati”. Orang yang mati kerohaniannya memandang peristiwa kematian menjadi akhir segala-galanya. Padahal bagi Kerajaan Allah, kematian menjadi gerbang kehidupan kekal seperti yang hendak dialami oleh Yesus sendiri.
Pemuda yang lain mengungkapkan hendak mengikuti Yesus namun mohon diizinkan berpamitan dahulu dengan keluarganya. “Berpamitan” ini sangat berbeda bobotnya dengan ungkapan “mencium ayah dan ibuku dahulu” seperti yang dibuat Elisa ketika menerima tugas kenabian. Berpamitan masih mengandung risiko tarik-menarik kepentingan dengan keluarganya, bahkan terbuka kemungkinan niat mengikuti Yesus dibatalkan keluarganya. Sedangkan bagi Elisa, ia sudah bertekat bulat menerima panggilan kenabian sehingga cukup mencium ayah dan ibunya sebagai ungkapan mohon restu kepada mereka.
Yesus menginginkan para murid-Nya mengikuti-Nya setiap hari dan membaharui jawaban atas panggilan Yesus itu. Misi Yesus ke dunia ini adalah keselamatan Allah terjadi atas dunia ini. Keselamatan Allah dan Kerajaan Allah melampaui hal-hal dunia ini, sehingga mengikuti Yesus bukan diukur dari penilaian duniawi. Siap mengikuti Yesus berarti siap meninggalkan hal-hal duniawi dan siap diutus untuk mewartakan keselamatan kerajaan Allah. Yesus rela berkurban demi keselamatan yang terjadi atas dunia ini. Dibutuhkan pula kerelaan berkurban dari orang-orang yang menjadi pengikut Yesus.
Mari kita bangun sikap siap sedia mengikuti Yesus dan siap sedia menjadi utusan kerajaan Allah. Lingkup yang paling kecil namun mendasar adalah perutusan dalam keluarga kita masing-masing. Mengasihi anggota keluarga demi keselamatan mereka merupakan tindakan perutusan sebagai murid Yesus. Kurban kita adalah mencurahkan segala daya agar anggota keluarga terarah pada keselamatan Allah. Perutusan ini menuntut diri kita untuk meninggalkan egoisme pribadi dan duniawi agar dapat menjadi pribadi yang menampilkan Yesus dalam diri kita masing-masing. (R.YKJ)

Sabtu, 18 Juni 2016

Minggu Biasa XII, Tahun C



Mengikuti Yesus

Bacaan Pertama: Zakharia 12:10-11; 13:1
Zakharia bernubuat tentang perkabungan yang akan menimpa Yerusalem. Perkabungan itu justru akan mendatangkan berkat yang berasal dari Allah. “Lalu mereka akan memandang dia yang mereka tikam…” kutipan yang mengingatkan banyak orang Yerusalem ketika menyaksikan Yesus yang tertikam saat kematian-Nya di kayu salib.

Bacaan Kedua: Galatia 3:26-29
Paulus menekankan kesatuan dalam iman akan Yesus Kristus. Baptisan menyatukan semua orang dalam diri Kristus dan diangkat sebagai anak-anak Allah. Persatuan ini melampaui segala perbedaan, baik berdasarkan suku, status, maupun jenis kelamin. Semua orang yang percaya kepada Kristus adalah milik Kristus dan sama-sama berhak menerima janji keselamatan Allah.

Bacaan Injil: Lukas 9:18-24

Ketika itu sesudah peristiwa penggandaan roti dan ikan, Yesus sedang berdoa seorang diri dan kemudian para murid datang mendekati-Nya. Situasi ketika itu tentulah tenang, jauh dari hiruk-pikuk orang banyak yang telah diberi makan oleh Yesus dengan menggandakan lima roti dan dua ikan (ay.10-17).  Dalam doa-Nya, Yesus memiliki waktu sendirian untuk berkomunikasi dengan Bapa-Nya. Sedang ketika para murid mendekati-Nya, Yesus memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan kelompok para rasul yang dipilih-Nya.
Tidak dikatakan dalam Injil tentang isi doa Yesus ketika sendirian berdoa. Tiba-tiba saja Yesus bertanya kepada murid-murid-Nya, “Kata orang banyak, siapakah Aku ini?”. Ingatan para murid tentu saja tertuju pada orang banyak yang telah kenyang karena mukjizat penggandaan roti dan ikan. Penilaian orang banyak melihat bahwa Yesus identik dengan Yohanes Pembaptis, Elia atau nabi zaman dahulu yang telah bangkit. Yohanes Pembaptis adalah nabi yang mewartakan pertobatan tanpa takut menghadapi siapapun. Hal yang tidak ditangkap orang banyak adalah Yohanes sebagai tokoh persiapan sebelum kedatangan Mesias. Penilaian bahwa Yesus adalah Yohanes Pembaptis menandakan bahwa orang banyak belum mengerti bahwa Yesus adalah Mesias.
Orang banyak juga mengatakan bahwa Yesus adalah Nabi Elia. Elia merupakan salah satu nabi besar yang melakukan banyak mukjizat, bahkan dapat membangkitkan orang mati dan Elia tidak mengalami kematian. Orang banyak menilai bahwa Yesus banyak mengadakan mukjizat sama seperti Elia dan ada harapan bahwa Yesus juga tidak akan mengalami kematian seperti Elia. Sementara pandangan Yesus sebagai nabi zaman dahulu yang telah bangkit menandakan pemahaman bahwa Yesus memiliki ciri-ciri nabi, namun sekedar manusia bukan Mesias.
Tiga identitas menurut orang banyak itu tentu jauh dari paham tentang Mesias yang sesungguhnya. Yesus kemudian mencari tahu jawaban para murid tentang diri-Nya. Petrus mewakili para murid menjawab, “Engkaulah Mesias dari Allah”. Jawaban inilah yang paling tepat dengan mengatakan bahwa Yesus adalah Mesias dari Allah. Ajaran dan karya Yesus, termasuk mukjizat yang dibuat-Nya merupakan ciri Mesias yang telah dijanjikan Allah. Namun demikian, Yesus dengan keras melarang para murid memberitahukan identitas Yesus yang sesungguhnya.
Yesus melarang karena belum ada pemahaman yang benar tentang Mesias bagi banyak orang. Paham benar tentang Mesias juga saat itu belum dimengerti dengan baik oleh para murid, meskipun Petrus sanggup mengatakan bahwa Yesus adalah Mesias dari Allah. Orang banyak mengharapkan kehadiran Mesias sebagai pembebas bangsa itu agar memerdekakan dari penindasan kekaisaran Romawi saat itu. Jawaban orang banyak tentang Yesus yang disebut sebagai Yohanes Pembaptis, Elia atau nabi yang telah bangkit menandakan penilaian bahwa Yesus layak menjadi pemimpin, sekaligus berharap bahwa Yesus memimpin pembebasan secara fisik/duniawi.
Atas alasan paham yang belum sama itulah, maka Yesus mengatakan bahwa Mesias, Anak Manusia, harus menanggung banyak penderitaan, ditolak para tua-tua, oleh para imam kepala dan ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit pada hari ketiga. Penderitaan Yesus yang dikatakan-Nya ini nyata dalam peristiwa salib. Mesias memimpin pembebasan secara rohani dan memerdekakan manusia dari dosa untuk keselamatan kekal. Kepemimpinan Mesias ini  tidak menempatkan Yesus sebagai raja duniawi, namun sebagai Raja Surgawi.
Yesus adalah Mesias dari Allah, sehingga Yesus tidak diukur berdasarkan penilaian duniawi. Demikian juga, para murid sebagai pengikut Yesus diukur berdasarkan keselamatan yang dari Allah. Yesus menanggung penderitaan hingga wafat di kayu salib, para murid pun dituntut Yesus untuk menempuh jalan keselamatan meskipun harus menanggung penderitaan. Para murid Yesus harus menyangkal diri, memikul salib setiap hari dan mengikuti Yesus. Dalam hal ini, ada gerakan meninggalkan diri sendiri, agar dapat menanggung tugas kewajiban iman sebagai murid Yesus dan tetap mengikuti Yesus sebagai pemimpin menuju keselamatan. Salib adalah tanggung jawab iman yang harus kita angkat setiap hari. (R.YKJ)

Sabtu, 11 Juni 2016

Minggu Biasa XI, Tahun C



Pertobatan dan Iman yang Menyelamatkan

Bacaan Pertama: 2 Samuel 12:7-10.13
Nabi Natan menegur Daud karena telah mengambil istri Uria menjadi istrinya. Natan sebelumnya menceritakan tentang seseorang yang memiliki satu domba dan dirampas tetangganya. Daud bereaksi secara keras terhadap cerita Natan, padahal ia sedang menghakimi dirinya sendiri atas tindakannya mengambil istri Uria setelah mengupayakan Uria tewas di medan perang. Daud kemudian mengakui telah berdosa kepada Tuhan.

Bacaan Kedua: Galatia 2:16.19-21
Paulus menegaskan bahwa manusia diselamatkan karena iman, bukan karena hukum. Kristus datang ke dunia membawa keselamatan, bukan membawa hukum yang membebani. Semua orang sama di hadapan Kristus, baik yang mengenal hukum Taurat maupun tidak. Hidup, kematian dan kebangkitan Kristus membuka kesempatan bagi manusia untuk hidup dalam kasih karunia sebagai anak-anak Allah.

Bacaan Injil: Lukas 7:36 – 8:3

Bacaan Injil Lukas memuat kisah pengurapan kaki Yesus. Kisah ini hanya dimiliki Lukas dengan penekanan bahwa Yesus mengajar bukan hanya dengan nesihat dan perumpamaan, namun dengan tindakan aktif yang menggambarkan sifat pelayanan Yesus bagi keselamatan manusia. Seorang Farisi mengundang Yesus makan di rumahnya dan datanglah seorang perempuan yang dikenal berdosa membasahi kaki Yesus dengan air matanya, menyeka dengan rambutnya dan meminyaki dengan minyak wangi. Orang Farisi yang mengundang makan Yesus menggerutu dalam hati tentang tindakan itu. Yesus mengetahui situasi demikian dan mengungkapkan perumpamaan tentang penghapusan hutang lima ratus dinar dan lima puluh dinar.
Orang Farisi yang mengundang makan Yesus mungkin saja memiliki motivasi dalam undangannya itu, namun tidak dikatakan secara terang dalam Injil. Simon, orang Farisi itu, juga tidak terang-terangan menentang sikap Yesus yang menerima pembasuhan kaki oleh perempuan yang dinilai berdosa itu. Perempuan yang terkenal berdosa itu tentu mengganggu Simon yang merasa sebagai orang terhormat. Belum lagi minyak wangi dalam buli-buli pualam yang mahal milik perempuan itu diduga hasil dari perbuatan dosanya. Menurut pandangan saat itu, seorang nabi tidak layak berbicara dengan perempuan di depan umum, apalagi perempuan yang dikenal berdosa. Simon mengharapkan Yesus menolak perlakuan perempuan itu.
“Perempuan itu berdiri di belakang Yesus, dekat kaki-Nya, lalu membasahi kaki-Nya dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya.” Tradisi makan pada waktu itu memang dilakukan mirip lesehan dengan balai-balai dan meja yang pendek. Perjamuan dilakukan dengan setengah berbaring, bertumpu pada siku tangan kiri dan kaki mengarah ke belakang. Mudah bagi perempuan itu untuk bersujud di belakang Yesus dan mengurapi kaki-Nya.
Atas kegundahan Simon, orang Farisi itu, Yesus menegaskan dalam perumpamaan bahwa dosa yang diampuni seperti hutang yang dihapuskan. Semakin besar hutang yang dihapus tentu saja semakin besar kegembiraan yang dirasakan. Demikian juga yang dialami oleh perempuan yang dikenal berdosa itu. Perempuan itu membasuh kaki Yesus dengan air matanya. Air mata sebagai lambang kesedihan mendalam sekaligus ungkapan kasih yang tulus kepada Yesus. Ada rasa penyesalan, kepasrahan dan persembahan diri yang tak pantas. Hal ini diperkuat dengan tindakan menyeka kaki Yesus dengan rambut. Rambut adalah mahkota bagi perempuan, simbol martabat dan kebanggaan diri. Simbol itu diserahkan pada kaki Yesus layaknya kain bekas untuk melap kaki.
Ungkapan penyesalan dan pertobatan perempuan itu juga termuat dalam tindakan meminyaki kaki Yesus. Buli-buli pualam terbuat dari batu tembus cahaya yang mahal harganya, tentu minyak wangi di dalamnya juga berharga mahal. Minyak wangi itu selama ini digunakan untuk memburati tubuh perempuan itu dan kini dipakai untuk memburati kaki Yesus. Kebanggaan dan pesona diri perempuan itu kini diletakkan pada kaki Yesus yang menggambarkan betapa dirinya tidak berarti di hadapan Yesus.
Yesus mengampuni dosa perempuan yang telah mengurapi kaki-Nya itu. Yesus sebagai Putera Allah memiliki kuasa untuk mengampuni dosa, terutama karena melihat rasa sesal dan tobat yang dimiliki perempuan itu. Rasa sesal dan tobat perempuan itu timbul karena imannya sehingga Yesus mengatakan “Imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!” Pergi dengan selamat berarti melanjutkan hidup dalam keadaan baru karena pengampunan Yesus dan diutus untuk mewartakan imannya yang telah menyelamatkannya.
Kita senantiasa butuh pengampunan Yesus karena kesalahan dan dosa kita. Sikap seperti perempuan itulah yang berkenan kepada Yesus. Kita yang lemah ini selayaknya datang dan bersimpuh di kaki Yesus, dan mempersembahkan seluruh diri kita dalam segala kekurangan dan kelebihan kita. Persembahan diri ini yang berkenan pada-Nya dan akan menjadi berkat bagi hidup kita untuk siap diutus mewartakan keselamatan Allah yang telah kita rasakan. Penyesalan dan pertobatan butuh perwujudan dalam hidup sehari-hari dengan perubahan prilaku dan sikap hidup. Kita hindarkan dalam diri kita sikap orang Farisi yang angkuh, merasa diri benar dan menilai orang lain dari sisi negatif.  (R.YKJ)

Sabtu, 04 Juni 2016

Minggu Biasa X, Tahun C



Hai Pemuda, Bangkitlah!

Bacaan Pertama: 1 Raja-raja 17:17-24
Elia membangkitkan janda di Sarfat padahal daerah itu asing bagi bangsa pilihan. Tindakan Nabi Elia ini menunjukkan bahwa Allah perjanjian memberikan berkat dan pertolongan bukan hanya kepada bangsa pilihan, namun kepada siapa saja yang berkenan kepada-Nya. Kemuliaan Allah nyata dalam tindakan Elia sebagai abdi Allah.

Bacaan Kedua: Galatia 1:11-19
Paulus meringkaskan panggilannya sebagai murid Yesus yang dahulu tidak dipercayainya. Paulus hendak meyakinkan jemaat di Galatia bahwa keselamatan Allah melampaui apapun yang ada pada diri manusia. Meskipun dahulu Paulus mengejar dan menganiaya murid Yesus, namun Yesus berkenan memakainya sebagai pewarta bagi jalan keselamatan Allah itu.

Bacaan Injil: Lukas 7:11-17

Bagian Injil Lukas ini mengisahkan tentang Yesus yang membangkitkan seorang pemuda di Nain. Nain adalah kota di daerah Galilea yang berdekatan dengan Kapernaum, tempat Yesus menyembuhkan hamba seorang perwira. Sampai pada bab 7 ini, Lukas telah menceritakan pangajaran dan mukjizat yang dikerjakan Yesus. Bagian-bagian ini nantinya menjadi tanggapan Yesus atas pertanyaan Yohanes Pembaptis: “Engkaukah yang akan datang itu atau kami harus menantikan seorang lain?” (7:20). Tanggapan Yesus adalah: “Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan dengar: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (7:22).
Kisah Yesus membangkitkan pemuda di Nain ini seolah terjadi secara kebetulan, kebetulan Yesus bertemu dengan rombongan yang mengusung jenazah. Namun dalam kisah ini, Yesus justru menunjukkan belas kasih Allah dan daya ilahi yang ada pada-Nya. Yesus yang mengambil inisiatif untuk membangkitkan pemuda itu, meskipun ibunya tidak memintanya. Tanpa mengenal pemuda yang meninggal itu sebelumnya, Yesus telah mengetahui bahwa pemuda itu merupakan anak tunggal dari seorang ibu yang sudah menjanda.
Dalam masyarakat seputar Yesus saat itu, status janda menjadi warga kelas dua apalagi tidak ada penjamin hidup, yakni anak. Seorang janda tidak banyak mendapat tempat dalam masyarakat dan hidup keagamaan, sehingga menjadi orang yang tersingkir dalam banyak aspek kehidupan. Situasi inilah yang dilihat oleh Yesus dalam kisah kebangkitan ini.
Pemuda yang meninggal itu adalah tumpuan hidup dan harapan bagi ibunya yang telah menjanda. Kehilangan anak tunggalnya, sama saja ibu itu kehilangan seluruh harapan hidupnya. Yesus mengetahui situasi berat yang dihadapi oleh ibu itu sehingga tanpa diminta pun Yesus segera tergerak hatinya oleh belas kasihan. Sebagai Putera Allah, Yesus mengetahui semua ini dan Ia mengambil inisiatif untuk memberi pertolongan kepada ibu itu dengan membangkitkan anak tunggalnya. Tanpa banyak nasihat, Yesus hanya berkata kepada ibu itu “Jangan menangis!”
Dengan cara terang-terangan, sekaligus menakjubkan, Yesus mendekati dan menyentuh usungan jenazah itu. “Hai pemuda, Aku berkata kepadamu: Bangkitlah!” Kalimat singkat ini ternyata berdaya ilahi yang menghidupkan karena dengan segera pemuda itu bangun, duduk dan mulai berbicara. Sabda Yesus menghidupkan dan hal ini menjadi salah satu bukti bahwa Yesus adalah Mesias yang dinantikan oleh banyak orang.
Menyaksikan mukjizat kebangkitan itu, orang banyak menjadi ketakutan. Rasa takut itu bukan seperti melihat hantu orang mati, namun rasa tunduk dan kagum di hadapan kekuasaan Allah yang baru saja diperlihatkan oleh Yesus. Rasa itu diteguhkan dengan tindakan orang banyak yang memuliakan Allah sambil berkata bahwa seorang nabi besar telah datang dan juga berkata Allah telah mengunjungi umat-Nya.
Yesus tidak menginginkan keputus-asaan yang justru mematikan gairah hidup dan iman kita. Keluh kesah kita dalam perjuangan hidup sebenarnya telah diketahui oleh Allah dan kita cukup dengan berserah diri pada daya penyertaan ilahi dalam diri Yesus. “Jangan menangis!” menjadi teguran bagi kita agar tidak berputus asa dalam menjalani persoalan hidup dan iman. Keputus-asaan hanya akan menumpulkan daya hidup dan kreativitas kita. Sedangkan pengharapan akan mendatangkan semangat dan usaha untuk dapat mengatasi aneka persoalan hidup ini.
Seruan “Bangkitlah!” yang diucapkan Yesus juga disampaikan kepada kita. Kita diminta bangkit dari keterpurukan, dari kematian semangat hidup dan iman, dari rasa rendah diri, dari keputus-asaan dan dari dosa-kelemahan kita. Tak perlu menunggu mati untuk dibangkitkan karena setiap waktu kita butuh bangkit dari “kematian-kematian” kecil dalam hidup kita. (R.YKJ)