Maria Ratu Damai

Maria Ratu Damai

Sabtu, 03 Oktober 2015

Minggu Biasa XXVII, Tahun B



Cinta yang Setia seperti Allah yang Setia

Bacaan Pertama: Kejadian 2:18-24
Allah menciptakan aneka binatang agar manusia pertama tidak kesepian. Manusia pertama itu memberi nama pada semua binatang namun tidak menemukan taman yang sepadan. Kesepian manusia pertama itu akhirnya dijawab Allah dengan penciptaan perempuan. Binatang dinamai oleh manusia pertama sebagai simbol manusia berkuasa atas binatang. Namun nama perempuan langsung dinamai oleh Allah karena menjadi penolong yang sepadan untuk manusia pertama dan diciptakan dari tulang rusuk sebagai lambang kesetaraan.

Bacaan Kedua: Ibrani 2:9-11
Surat kepada orang Ibrani menegaskan bahwa Allah berkenan menjumpai manusia demi keselamatan manusia. Kerelaan Allah bahkan memberikan Yesus sebagai saudara bagi manusia. Yesus adalah Putera Allah namun menjadi manusia agar menjadi saudara bagi manusia demi menarik manusia pada kekudusan Allah. Penolong yang sepadan dalam kisah penciptaan disempurnakan dalam diri Yesus yang menjadi Penolong keselamatan.

Bacaan Injil: Markus 10:2-16

Sering kali bacaan Injil ini dipakai untuk pemberkatan perkawinan. Kita akan langsung tertuju pada ungkapan Yesus bahwa yang dipersatukan Allah jangan diceraikan manusia. Namun kita lupa untuk melihat konteks keseluruhan bacaan ini. Pada awal bacaan ini disebutkan bahwa orang-orang Farisi hendak mencobai Yesus. Mencobai berarti menguji kemampuan Yesus dalam pengetahuan Taurat, sekaligus kemampuan-Nya dalam menilai realitas yang ada. Yesus menjawab orang Farisi dengan penjelasan perceraian dan sikapnya terhadap anak-anak.
Orang Farisi mencobai Yesus tentang legalitas perceraian, bukan sifat tak terceraikan yang diutamakan oleh mereka. Pada masa itu ada dua paham tentang perceraian. Pertama, paham Hillel yang berpendapat bahwa suami boleh menceraikan isterinya dengan alasan apapun. Kedua, paham Sammai yang berpendapat bahwa suami boleh menceraikan isterinya hanya karena berbuat zinah. Hukum Taurat dengan jelas mengatur perkawinan, namun manusia tetap mencari celah hukum sehingga Musa seolah-olah memberikan hukum baru tentang perceraian. Musa menyampaikan kelonggaran dari hukum perkawinan karena kerohanian manusia pada waktu itu belum memuaskan. Kebijakan Musa itu untuk mengendalikan perceraian, bukan untuk melegalkan atau mendorong perceraian. Sejak penciptaan, Allah menghendaki persatuan hidup laki-laki dan perempuan yang diciptakan-Nya agar menjadi penolong yang sepadan. Allah perjanjian yang setia pada janji-Nya menghendaki suami-isteri juga setia pada perkawinan mereka.
Orang Farisi hanya mengungkapkan bahwa Musa mengizinkan menceraikan isteri dengan memberikan surat cerai, namun mereka tidak mencantumkan syarat yang ditetapkan Musa. Dalam Ulangan 24:1 seorang suami membuat surat cerai karena isterinya berbuat zinah. Surat cerai karena alasan zinah ini bukan demi legalitas perkawinan yang berikutnya dengan perempuan lain. Hal ini tampak dalam penjelasan Yesus kemudian kepada para murid-Nya (ay. 11-12). Perkawinan yang sah tidak dapat diceraikan dengan alasan apapun. Bila isteri atau suami berbuat zinah dan kemudian berpisah, ia tetap terikat pada perkawinannya itu. Meskipun prosedur perceraian telah diikuti, namun bila menikah dengan orang lain perkawinan kedua itu tidak sah sehingga yang bersangkutan ada dalam perzinahan atau “kumpul kebo”.
Yesus pada bagian berikutnya menjelaskan sikap yang harus ditunjukkan kepada anak-anak. Pada waktu itu orang-orang membawa anak-anak kepada Yesus namun mereka dimarahi oleh murid-murid Yesus. Yesus justru memberikan pandangan yang berbeda dengan para murid. Yesus justru marah terhadap para murid yang melarang anak-anak dibawa kepada-Nya. Anak-anak justru harus dibawa kepada Yesus agar mengenal-Nya dari dekat. Yesus sendiri menegaskan bahwa anak-anak inilah yang empunya kerajaan Surga. Mengapa demikian? Dalam diri anak-anak dan juga orang yang membawanya kepada Yesus justru menginginkan berkat yang melimpah dari sikap dekat dengan Yesus.
Anak-anak memiliki sikap polos-murni, tulus dan lugu. Tidak ada pamrih yang berlebih dalam diri mereka. Juga tidak ada niat jahat untuk menghancurkan orang lain. Hal ini berbeda dengan sikap orang yang dewasa namun tindakannya penuh prasangka, niat jahat, pamrih dan segala yang jahat. Termasuk juga kejahatan sebagai sebab-akibat dari perceraian. Karena perceraian dan perpisahan, anak-anak tidak akan mendapatkan kasih sayang dan kebutuhan rohani yang lengkap dari orangtuanya. Bahkan tidak mungkin kedua orangtua yang berpisah, secara bersama dapat membawa anak-anak kepada Yesus.
Injil ini bisa kita maknai dalam hidup kita masing-masing. Kita diminta untuk setia pada panggilan hidup kita. Bagi Anda dalam keluarga, kesetiaan terhadap keluarga sebagai suami dan isteri menjadi pintu utama untuk menumbuhkan kasih sayang dan iman terhadap anak-anak. Kesetiaan cinta suami-isteri pada janji perkawinan akan diiringi dengan perhatian dan kasih sayang yang tulus terhadap anggota keluarga, juga berani saling terbuka untuk menerima dan mengampuni. Mari meneladan kesetiaan Ibu Maria dengan tekun berdoa, terutama pada bulan Rosario ini. (R.YKJ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar