Maria Ratu Damai

Maria Ratu Damai

Sabtu, 05 Maret 2016

Minggu Prapaskah IV, Tahun C



Kemurahan Hati Allah

Bacaan Pertama: Yosua 5:9a.10-12
Yosua memimpin bangsa pilihan memasuki dan tinggal di tanah terjanji. Mereka merayakan Paskah sebagai perayaan pembebasan Allah dari tanah Mesir. Bangsa itu kemudian menikmati roti tak beragi dari gandum hasil tanah Kanaan. Saat itu pula Allah tidak lagi menurunkan manna bagi mereka. Allah tetap mendampingi bangsa pilihan dan bermurah hati kepada mereka.

Bacaan Kedua: 2 Korintus 5:17-21
Paulus mengungkapkan bahwa orang-orang yang percaya kepada Kristus merupakan ciptaan baru yang didamaikan kembali dengan Allah. Pengampunan dan penerimaan orang berdosa oleh Yesus mencerminkan sifat Allah yang berkehendak mendamaikan dunia dengan surga. Paulus meminta agar umat senantiasa menyerahkan diri kepada Kristus yang menjadi jalan pendamaian manusia dengan Allah.

Bacaan Injil: Lukas 15:1-3.11-32

Bacaan Injil ini memuat kisah perumpamaan yang biasa disebut dengan judul “Anak yang Hilang”. Judul ini tentu berangkat dari sudut pandang sang anak bungsu yang pergi meninggalkan bapanya dan akhirnya menyadari perbuatannya sehingga kembali kepada bapanya. Judul lain yang sekarang lebih gemar dipakai untuk bacaan ini adalah “Bapa yang Baik Hati”. Judul kedua ini lebih menekankan sifat bapa yang baik hati terhadap anaknya, baik si bungsu yang telah meninggalkannya, maupun si sulung yang merasa iri hati.
Sesuai dengan tema renungan Prapaskah “Allah Mahabaik”, maka bacaan ini sebaiknya diarahkan untuk melihat kabaikan Bapa yang menerima kembali anak-Nya meskipun anaknya itu telah berdosa pada-Nya. Perumpamaan ini diungkapkan Yesus untuk menanggapi orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang tidak suka terhadap Yesus yang menerima para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Dengan demikian, Yesus menampilkan sifat Allah yang mahabaik dalam diri-Nya.
Dalam perumpamaan-Nya, Yesus mengatakan ada seorang yang dua anak laki-laki. Si bungsu meminta ayahnya untuk memberikan harta yang menjadi bagian warisan untuknya. Keesokan harinya, si bungsu menjual semua bagian hartanya dan kemudian pergi ke negeri yang jauh. Sikap si bungsu jelas keliru. Harta warisan tidak patut dituntut oleh anak terhadap orang tua, apalagi belum saatnya orang tua membagi hartanya sebagai warisan. Sikap keliru berikutnya adalah si bungsu menjual seluruh harta bagiannya itu dan pergi ke negeri yang jauh. Harta warisan itu berasal dari jerih payah orang tua dan pasti sedikit saja andil sang anak untuk mengupayakannya. Tidaklah pantas harta yang diusahakan dengan susah payah oleh orang tua kemudian dijual oleh anak tanpa menghargai jerih payah orang tuanya.
Si bungsu sengaja pergi ke tempat yang jauh karena hendak hidup berfoya-foya dengan hasil penjualan harta warisannya. Kebebasan si bungsu kebablasan sehingga memakai warisan orang tuanya dengan tidak bertanggung jawab. Pemborosan harta dengan hidup berfoya-foya membuatnya jatuh miskin dan mulai berpikir untuk bekerja demi mempertahankan hidupnya. Si bungsu mulai bertanggung jawab terhadap hidup dengan bekerja, namun dunia yang keras ternyata tidak berbelas kasih padanya. Untuk mengisi perutnya dengan makanan babi saja tidak ada orang yang memberikan padanya. Mulailah ia ingat bahwa di rumah ayahnya banyak pekerja yang mendapatkan makanan secara terjamin.
Ingatan akan rumah ayahnya membuat si bungsu berniat kembali ke rumah ayahnya, bukan dengan status sebagai anak namun sebagai pekerja di rumah ayahnya. Si bungsu menyadari bahwa ia telah berdosa kepada ayahnya, bahkan dosa kepada surga karena bertindak di luar kehendak Allah. Ia sendiri mengakui bahwa ia telah “mati kelaparan” karena jauh dari kasih ayahnya.
Si bungsu akhirnya kembali ke rumah ayahnya. Ketia ia masih jauh, ayahnya telah berlari menyambutnya, merangkul dan menciumnya. Si bungsu kemudian mengutarakan penyesalannya seperti yang direncanakannya, meskipun tidak semua kata-kata dapat diucapkannya. Ayahnya tampak tidak peduli dengan ucapan anaknya, ia justru menyuruh hamba-hambanya untuk menyiapkan acara pesta bagi anaknya yang telah kembali itu. Sang ayah bukan hanya lapang hati menerima anaknya yang telah memboroskan harta warisannya, namun menyambutnya seperti menyambut anak yang tidak pernah bersalah padanya.
Sementara itu, sikap anak sulung ditampilkan berbeda dalam perumpamaan ini. Si sulung merasa iri hati karena ayahnya menerima kembali si bungsu yang telah memboroskan harta keluarganya. Ayahnya bahkan mengadakan pesta untuk menyambut kedatangan si bungsu itu. Si sulung merasa iri hati karena selama ini ia merasa patuh terhadap ayahnya dan tidak pernah bertindak seperti si sulung. Namun demikian, ayahnya tidak pernah mengadakan pesta untuknya, bahkan sekedar memberikan anak kambing untuk bersenang-senang dengan teman-temannya. Rasa iri hati si sulung muncul karena merasa lebih baik dari si bungsu namun merasa tidak diperlakukan secara istimewa oleh ayahnya. Ia juga protes kepada ayahnya yang tidak menghukum si bungsu tetapi malah mengampuni dan menerima si bungsu dalam sebuah pesta.
Allah maha baik, maha pengampun dan murah hati pada kita. Seperti si bungsu, kita ditunggu oleh Allah agar kembali kepada-Nya. Allah akan melupakan kesalahan dan dosa yang pernah kita lakukan bila kita bertobat dan mohon belas kasih Allah. Ada kalanya kita juga terjatuh pada sikap si sulung yang iri hati terhadap sesama karena merasa Allah lebih berbelas kasih kepada mereka. Ketika kita setia kepada Allah, kemurahan dan belas kasih Allah tetap kita terima. Seperti si sulung, harusnya kita bersama dengan Bapa menyiapkan pesta bagi sesama kita. Si sulung bisa menjadi ketua pesta penyambutan si bungsu, maka kita bisa menjadi orang kepercayaan Allah untuk ikut menyambut kedatangan sesama yang kembali kepada Allah dalam pertobatan. Pada masa Prapaskah ini, kita diajak untuk mengalami pertobatan pribadi agar menerima kerahiman Allah, sekaligus mengajak orang lain untuk bertobat dengan memberi teladan kebaikan dan perhatian kepada mereka. (R.YKJ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar