Kemurahan Hati Allah
Bacaan Pertama: Yosua 5:9a.10-12
Yosua memimpin bangsa pilihan memasuki dan tinggal di tanah terjanji.
Mereka merayakan Paskah sebagai perayaan pembebasan Allah dari tanah Mesir.
Bangsa itu kemudian menikmati roti tak beragi dari gandum hasil tanah Kanaan.
Saat itu pula Allah tidak lagi menurunkan manna bagi mereka. Allah tetap
mendampingi bangsa pilihan dan bermurah hati kepada mereka.
Bacaan Kedua: 2 Korintus 5:17-21
Paulus mengungkapkan bahwa orang-orang yang percaya kepada Kristus
merupakan ciptaan baru yang didamaikan kembali dengan Allah. Pengampunan dan
penerimaan orang berdosa oleh Yesus mencerminkan sifat Allah yang berkehendak
mendamaikan dunia dengan surga. Paulus meminta agar umat senantiasa menyerahkan
diri kepada Kristus yang menjadi jalan pendamaian manusia dengan Allah.
Bacaan Injil: Lukas 15:1-3.11-32
Bacaan Injil ini memuat kisah perumpamaan yang biasa disebut dengan judul
“Anak yang Hilang”. Judul ini tentu berangkat dari sudut pandang sang anak
bungsu yang pergi meninggalkan bapanya dan akhirnya menyadari perbuatannya
sehingga kembali kepada bapanya. Judul lain yang sekarang lebih gemar dipakai
untuk bacaan ini adalah “Bapa yang Baik Hati”. Judul kedua ini lebih menekankan
sifat bapa yang baik hati terhadap anaknya, baik si bungsu yang telah
meninggalkannya, maupun si sulung yang merasa iri hati.
Sesuai dengan tema renungan Prapaskah “Allah Mahabaik”, maka bacaan ini
sebaiknya diarahkan untuk melihat kabaikan Bapa yang menerima kembali anak-Nya
meskipun anaknya itu telah berdosa pada-Nya. Perumpamaan ini diungkapkan Yesus
untuk menanggapi orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang tidak suka
terhadap Yesus yang menerima para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Dengan
demikian, Yesus menampilkan sifat Allah yang mahabaik dalam diri-Nya.
Dalam perumpamaan-Nya, Yesus mengatakan ada seorang yang dua anak
laki-laki. Si bungsu meminta ayahnya untuk memberikan harta yang menjadi bagian
warisan untuknya. Keesokan harinya, si bungsu menjual semua bagian hartanya dan
kemudian pergi ke negeri yang jauh. Sikap si bungsu jelas keliru. Harta warisan
tidak patut dituntut oleh anak terhadap orang tua, apalagi belum saatnya orang
tua membagi hartanya sebagai warisan. Sikap keliru berikutnya adalah si bungsu
menjual seluruh harta bagiannya itu dan pergi ke negeri yang jauh. Harta
warisan itu berasal dari jerih payah orang tua dan pasti sedikit saja andil
sang anak untuk mengupayakannya. Tidaklah pantas harta yang diusahakan dengan
susah payah oleh orang tua kemudian dijual oleh anak tanpa menghargai jerih
payah orang tuanya.
Si bungsu sengaja pergi ke tempat yang jauh karena hendak hidup
berfoya-foya dengan hasil penjualan harta warisannya. Kebebasan si bungsu
kebablasan sehingga memakai warisan orang tuanya dengan tidak bertanggung
jawab. Pemborosan harta dengan hidup berfoya-foya membuatnya jatuh miskin dan
mulai berpikir untuk bekerja demi mempertahankan hidupnya. Si bungsu mulai
bertanggung jawab terhadap hidup dengan bekerja, namun dunia yang keras
ternyata tidak berbelas kasih padanya. Untuk mengisi perutnya dengan makanan
babi saja tidak ada orang yang memberikan padanya. Mulailah ia ingat bahwa di
rumah ayahnya banyak pekerja yang mendapatkan makanan secara terjamin.
Ingatan akan rumah ayahnya membuat si bungsu berniat kembali ke rumah
ayahnya, bukan dengan status sebagai anak namun sebagai pekerja di rumah
ayahnya. Si bungsu menyadari bahwa ia telah berdosa kepada ayahnya, bahkan dosa
kepada surga karena bertindak di luar kehendak Allah. Ia sendiri mengakui bahwa
ia telah “mati kelaparan” karena jauh dari kasih ayahnya.
Si bungsu akhirnya kembali ke rumah ayahnya. Ketia ia masih jauh, ayahnya
telah berlari menyambutnya, merangkul dan menciumnya. Si bungsu kemudian
mengutarakan penyesalannya seperti yang direncanakannya, meskipun tidak semua
kata-kata dapat diucapkannya. Ayahnya tampak tidak peduli dengan ucapan
anaknya, ia justru menyuruh hamba-hambanya untuk menyiapkan acara pesta bagi
anaknya yang telah kembali itu. Sang ayah bukan hanya lapang hati menerima anaknya
yang telah memboroskan harta warisannya, namun menyambutnya seperti menyambut
anak yang tidak pernah bersalah padanya.
Sementara itu, sikap anak sulung ditampilkan berbeda dalam perumpamaan
ini. Si sulung merasa iri hati karena ayahnya menerima kembali si bungsu yang
telah memboroskan harta keluarganya. Ayahnya bahkan mengadakan pesta untuk
menyambut kedatangan si bungsu itu. Si sulung merasa iri hati karena selama ini
ia merasa patuh terhadap ayahnya dan tidak pernah bertindak seperti si sulung. Namun
demikian, ayahnya tidak pernah mengadakan pesta untuknya, bahkan sekedar
memberikan anak kambing untuk bersenang-senang dengan teman-temannya. Rasa iri
hati si sulung muncul karena merasa lebih baik dari si bungsu namun merasa
tidak diperlakukan secara istimewa oleh ayahnya. Ia juga protes kepada ayahnya
yang tidak menghukum si bungsu tetapi malah mengampuni dan menerima si bungsu
dalam sebuah pesta.
Allah maha baik, maha pengampun dan murah hati pada kita. Seperti si
bungsu, kita ditunggu oleh Allah agar kembali kepada-Nya. Allah akan melupakan
kesalahan dan dosa yang pernah kita lakukan bila kita bertobat dan mohon belas
kasih Allah. Ada kalanya kita juga terjatuh pada sikap si sulung yang iri hati
terhadap sesama karena merasa Allah lebih berbelas kasih kepada mereka. Ketika
kita setia kepada Allah, kemurahan dan belas kasih Allah tetap kita terima. Seperti
si sulung, harusnya kita bersama dengan Bapa menyiapkan pesta bagi sesama kita.
Si sulung bisa menjadi ketua pesta penyambutan si bungsu, maka kita bisa
menjadi orang kepercayaan Allah untuk ikut menyambut kedatangan sesama yang
kembali kepada Allah dalam pertobatan. Pada masa Prapaskah ini, kita diajak
untuk mengalami pertobatan pribadi agar menerima kerahiman Allah, sekaligus
mengajak orang lain untuk bertobat dengan memberi teladan kebaikan dan
perhatian kepada mereka. (R.YKJ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar