Hendaklah Kamu saling membasuh
kaki!
Bacaan Pertama: Kel. 12: 1-8.11-14
Perayaan Paskah mulanya adalah persembahan anak domba sebagai syukur pesta
panen. Perayaan ini mengalami pergeseran makna menjadi kenangan akan pembebasan
bangsa pilihan dari perbudakan Firaun. Dalam Perjanjian Baru, paskah mendapat
makna baru dalam kebangkitan Kristus.
Bacaan Kedua: 1Kor. 11:23-26
Paulus menghayati Ekaristi sebagai paskah, kurban Kristus sebagai Anak
Domba Allah yang menyerahkan diri untuk keselamatan manusia. Paulus menasihati
agar dilakukan perjamuan Ekaristi seperti yang telah dilakukan Yesus untuk
mewartakan keselamatan dalam kurban Kristus.
Bacaan Injil: Yoh. 13:1-15
Sebelum perayaan Paskah dimulai, Yesus mengadakan perjamuan bersama
murid-murid-Nya. Pada kesempatan ini, semakin diperlihatkan sikap Yesus yang
pasrah menyerahkan diri pada kehendak Bapa. Sementara sikap Yudas Iskariot
semakin hanyut dalam bisikan iblis untuk menghianati Gurunya.
Yesus menyadari bahwa Ia hendak beralih dari dunia ini. Yesus yang berasal
dari kemuliaan Allah hendak kembali dalam kemuliaan itu. Pentinglah bagi Yesus
agar wejangan di akhir kebersamaan-Nya dengan para murid sungguh diperhatikan
dan dilaksanakan oleh para murid. Nasihat-nasihat khusus hendak Ia diberikan
kepada para murid, dan begitu penting wejangan-wejangan itu maka Yesus
mendahului dengan tindakan nyata. Dua hal penting yang dikerjakan Yesus untuk
para murid sebelum kesengsaraan-Nya, yakni pembasuhan kaki para murid dan
pendirian Ekaristi. Pada bacaan ini ditampilkan kisah tentang Yesus yang
membasuh kaki para murid sebagai teladan saling melayani.
Tradisi pada masa itu, seorang budaklah yang harus membasuh kaki tuannya
atau para tamu yang hendak naik ke dalam rumah sebelum mengadakan suatu jamuan.
Seorang budak tanpa jubah bertugas membasuh dan menyeka kaki orang yang
dilayaninya. Tindakan ini dibuat sebenarnya sebelum seseorang yang dihormati
itu masuk ke dalam rumah. Ingat tentang tempayan yang berisi air dan kemudian
Yesus mengubah air menjadi anggur pada peristiwa perjamuan nikah di kana (Yoh.
2:6). Tempayan-tempayan itu dipakai untuk tradisi pembasuhan kaki.
Sebelum Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya, Ia menanggalkan jubahnya,
memakai kain lenan dan manuangkan air dalam sebuah basi. Tindakan Yesus dalam
persiapan pembasuhan kaki ini pastilah memakan waktu beberapa saat. Pada
kesempatan waktu ini pastilah para murid telah tahu bahwa Yesus hendak membasuh
kaki para murid. Namun demikian, toh tidak ada satu pun dari para murid yang
berani mangambil kain lenan dan basi berisi air itu untuk membasuh kaki Guru
mereka. Sesampainya Yesus untuk membasuh kaki Petrus, Ia diprotes oleh Petrus. Protes
ini terasa begitu terlambat karena Yesus telah membasuh kaki beberapa murid
yang lain. Petrus merasa tidak layak dibasuh oleh Yesus, namun ia juga di awal
tidak mau menggantikan Yesus untuk membasuh kaki Yesus dan murid-murid yang
lain.
“Tuhan, jangan hanya kakiku saja, tetapi juga tangan dan kepalaku” (ay.
9). Ungkapan Petrus ini terasa lebay. Mungkin juga tidak bermaksud agar ia
mendapat bagian yang paling besar dalam Yesus yang hendak mulia, namun karena
ia terlanjur malu telah dicuci kakinya oleh Yesus. Kata-kata Yesus ini disambut
dengan kiasan bahwa para murid tidaklah bersih semuanya karena akan ada
penghianat dari antara mereka.
Pada ayat 12-15 mulailah Yesus pada wejangan khusus kepada para murid-Nya.
Tindakan pembasuhan kaki para murid Ia jelaskan agar sungguh mengena dan
mendasar pada hati para murid. Yesus yang adalah Tuhan dan Guru saja mau
membasuh kaki para murid seperti seorang budak, maka para murid seharusnya
meneladani untuk saling membasuh kaki sesamanya. Pembasuhan kaki mendapatkan
makna bahwa para murid harus saling melayani. Mereka tidak lebih tinggi dari
orang-orang yang mereka layani, demikian juga di antara para murid tidak ada
yang lebih tinggi. Mereka hanyalah hamba yang harus taat dan setia pada Kristus
sebagai Putera Allah.
Perayaan Kamis Putih mengingatkan kita untuk mampu meneladani tindakan
Yesus yang melayani dengan kerendahan hati dan ketulusan hati. Tindakan sebagai
seorang pelayan tentulah harus mengorbankan perasaan gengsi, berani untuk
merendahkan diri terhadap sesama yang mungkin sering menjengkelkan dan
membosankan. Teladan mencintai dan melayani haruslah kita jalankan sebagai
murid-murid Kristus di zaman ini. Kita belajar mulai dari orang-orang yang
dekat dengan kita, terutama keluarga kita. (R.
YKJ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar